Tampilkan postingan dengan label Tonggak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tonggak. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Mei 2010

Ephesus (di rumah Maria)

Dalam kesederhanaan-Mu
tamu itu menangis

Air suci di mulutnya tumpah;
"Ibu, aku bukan penziarah!"

Siapakah dia
Siapakah ibu itu baginya?

Maria yang ia tak kenal
dari sebuah belantara besar,

kesedihan yang lari
ke bukit Turki,

takhayul yang tertebus
di pohon-pohon Ephesus?

Tapi tamu itu menangis.
Barangkali riam,

dan burung-burung hutan
telah bikin bayang-bayang

seperti sebuah sendang.

Hari memang sudah habis
Tuhanku, hari seorang turis.

Dan dalam kesederhanaan-Mu
tamu menangis

Kamis, 11 Februari 2010

Malam

Bayang-bayang bumi
memalingkan tubuh
memejam lelah
meletakan beban ke tanah

Maka malam pun turun
memaksa kucing putih
mengeong di pojok rumah
memanggil pungguk
yang sanggup mengundang bulan

Karena hari sedang istirahat
di ladang angin mengendap
tidur bersama ibu bumi
dari kasih mereka
ilalang berisik
ditingkah suara jangkrik
di sungai, air
pelan-pelan
melanda pasir

Justru pada tengah malam rahasia diungkapkan.

Perjalanan Ke Langit

Bagi yang merindukan
Tuhan menyediakan
kereta cahaya ke langit
kata sudah membujuk
bumi untuk menanti

Sudah disiapkan
awan putih di bukit
berikan tanda
angin membawamu pergi
dari pusat samudra

Tidak cepat atau lambat
karena menit dan jam
menggeletak di meja
tangan gaib mengubah jarum-jarumnya
berputar kembali ke-0

Waktu bagai salju
membeku di rumputan
selagi kaulakukan perjalanan

Jalan Yang Tidak Kutempuh

Dua jalan bercabang dalam remang hutan kehidupan,
dan sayang aku tidak bisa menempuh keduanya
dan sebagai pengembara, aku berdiri lama
dan memandang ke satu jalan sejauh aku bisa
ke mana kelokannya mengarah di balik semak belukar;

Kemudian aku memandang yang satunya, sama bagusnya,
dan mungkin malah lebih bagus,
karena jalan itu segar dan mengundang
meskipun tapak yang telah melewatinya
juga telah merunduhkan rerumputannya,

Dan pagi itu keduanya sama-sama membentang
di bawah hamparan dedaunan rontok yang belum terusik.
oh, kusimpan jalan pertama untuk kali lain!
meski tahu semua jalan berkaitan,
aku ragu akan pernah kembali.

Aku akan menuturkannya sambil mendesah
suatu saat berabada-abad mendatang;
dua jalan bercabang di hutan, dan aku ----
aku menempuh jalan yang jarang dilalui,
dan itu mengubah segalanya.

Rabu, 10 Februari 2010

Di Beranda

Sehelai daun terbaring di beranda
kemudian tidur
menangkap bayang-bayang

Kantuk turun mencium ubun
tapi mampukah sampai kepada mimpi
yang menyimpan bau busuk
hidup manusiawi?

Barangkali
mimpi hanya seekor burung
terbang ke surga
yang diusik pengalaman dunia

Khotbah

Tuhan membikin seratus cinta
semu ditahan pada dirinya
hanya satu ia turunkan
ke bumi

Dengan itu laki-perempuan bercium-ciuman
pohon-pohon berbisik-bisikan
seekor anjing dengan rela menarik kelangkang
agar orok tidak terinjak
ibu kuda mengangkat kaki belakang

Saudara-saudara
Tuhan membikin seratus cinta

Mengapa Tiba-Tiba Kau

mengapa tiba-tiba kau dalam musim gugur
datang bersama angin
mengintip di balik jeriji tangkai yang rapuh
daunan bersiap luruh
burungburung menangis ketika hinggap
di pohonpohon gundul

mengapa tibatiba dalam kabut
mengejar sirna
alam pun menutup paruh
menggigil dalam gelap yang luluh

Langkah-Langkah

Langkah langkah terperangkap
terkulum dinding beku
dikayuh renyai daun-daun bambu
kelam gelitaku
jera menyapa sunyi langkahku

Langit tergenggam matahari
terbakar dalam keluh hari
dibasuh sungai purba-bahari

Bulan menopang malam
ranjang bergayut batu pualam
aku melejang, sunyiku diam
aku menikam, umpatku, umpatku darah hitam

Langkah-langkah diracun serapah
pawang langit dan dukun hujan
menabuh hari-bahari gurun dilecut topan

diamku
diam

Selasa, 09 Februari 2010

Suara Yang Tak Kukenal

Mengapa kau tiba-tiba datang
dalam kepapaan?

Dunia telah lama kau lepaskan
dalam kebesan.

Bintang itu belum terbenam,
kembarmu cuma kesia-siaan

Kembalilah pulang bila musim hujan tiba

kebun bambu yang bertunas,
dan perdu yang berpucuk rindu
menanti istirahmu

Gugur Daun-Daun Di Atas Bukit

hijau-hijau bunganya ranum
bidadari tersenyum-senyum
harum cantik membelai bumi
di manakah sebenarnya kekekalan ini

mengejar matahari angin meronta
sedih dan tua
bagaimanakah mencapai yang tersedia
gugur gemersik tanpa sengsara
mendekap tanah tanpa prahara

Laut Masih Memanggil

laut telah pasang dibakar hari
layar-layar di pantai menari
pondok tua, gubug tua merenta
istirahat nak, tidur siang tidur senja
tidur lelap sebelum malam tiba

hidup perbuatan bagai kata dalam syair
mimpi yang selalu berontak

sebelum layar lepas dari pangkuan
perahu yang jinak
bertolak nak, karna cinta tanpa akhir
sebelum senja nafas cair

laut masih memanggil menggeletar surya
karib bermain di kaki cakrawala
semua yang mempunyai cinta hadir di sini
merdeka di dalam dera beranda kehidupan rahasia

di mana-mana nasib telah bertolak kepadamu
nasib itu kesetiaan
bebar merangkul hidup usia
dari timbang penghabisan selain patuh menempuh
binasa meremang setiap masa, anak yang patuh
dalam kandungan waktu yang gaib selalu utuh

Suatu Malam Sunyi

malam termangu menutup pintu dengan sunyi
angin berderai mengetuk pintu menagih janji
semu diburu tempat berkelahi
dapatkah aku tidur dengan tentram
tanpa diusik bumi yang hitam

Kejam

Ah, kekejaman itu milik siapa
antara langit dengan tanah
isinya manusia
Bencana tiba bagai neraka dalam tangkap
lirih mengguncang dada, selal pun baur
beterbangan bagai debu kering jalanan

Sesal ditumpahkan kepadanya
beserta sesal dan tuduhan
mencibiri, inilah hargaku
bangkit dan tidur diperoleh waktu
Tuhan: apa lagi kehendakMu?

Ah, kekejaman itu milik siapa?
kembali kepada yang mulai lalai
manusia dengan pikir dan budi
kita kenal sendiri
Barangkali Tuhan hanya memandang sepi
seperti langit sendiri untuk diisi
Kekejaman milik bumi

Perjalanan..

kembangkan layarmu, manis
topan menerpa, hujan gerimis
berdendang tenang-tenang
jangan sedih takut gelombang

matahari melepas anak panahnya di timur
karang terkikis mesti hancur
begitulah peredaran akan sampai
saat di mana waktu usai

Senin, 08 Februari 2010

Darmitea, 2

Matahari yang terengah kaukendarai
seharian
lihat angin di rambutmu telah lebah
dandananmu acak acakan
simpan matahari di gudang
manis, keluarkan bulan purnama dari dadamu
biarkan kota tidu barang sekejap
mengendapkan dosa dosa kita sehari ke dasar bumi
(jangan sampai ketahuan dinas purbakala)
bungkus hati hati derita dalam menara Monas
biarkan musik nite club menyanyi deng kelangkangnya
mengguncang tamu tamu yang berdansa
dan berbiak
(jangan sampai ketahuan anak anak)
mereka tak jahu kau merem dalam napas mereka
dan kau tersenyum
sementara aku berjaga di sini

Darmitea, 1

Jam-jam paling menyesah adalah jam jam kau menyambut di pintu
tanya namaku
siapa
dan aku bilang namaku
siapa
pada jam jam sama kau tanya jam berapa dan aku memandang
bintang bintang
jauh sekali
diriku tergantung di sana
tanpa nama
tersalib di antara awan dan
itu adalah kau

selebihnya
aku tak tahu

Duka Nestapa Purba

Duka nestapa ibuku
dari hulu
mengalir ke hilir
melintasi bukit-bukit hijau
Rawa-rawa pun berbunga
kupetik setangkai
Prahara pun bermula
dari semerbak harumnya

Duka daun-daun tua
duka nestapa purba
Badai tak reda-reda
senyum pun bermula
dari buihnya.

Dunia Pun Jadi Telaga Tuba

Air mani Adam
tumpah ke telaga
dunia pun jadi telaga tuba

Air susu Hawa
dihisa hewan rimba
perempuan pun jadi laut
tak terduga

Dari malam ke malam
angin mencatatkan dendam
ke batu-batu
dengan lidahnya
dunia pun jadi telaga tuba
kita timba kita timba

Waktu..

Dalam deras sungaimu
aku dan waktu berpacu
mendaki bukit sunyi
yang kaujanjikan
hiruk pikuk suara
menggapai langit putihmu
terlempar ke kolam-kolam
lihat!T
Ikan-ikan berenang menimba waktu
mencari matahari di teluk-teluk pualam
tetapi tiba-tiba malam menjalanya
dengan kain sutera
yang kausimpan di surga

aku dan waktu berjanji
akan berhenti pada stasiun terakhir
kereta senja yang kausediakan
tak ada percakapan
kecuali sepi
sekali-sekali mengetuk pintu
menjengukku
akan tahu sebentar lagi
roda kereta berputar makin perlahan
sementara waktu di sisiku tersipu
memandangku

Luka..

sakit luka itu diterima sungai
dibawa ke tangan kesadaran
tapi muara menolak
lantaran laut yang sesak oleh sejarah

kupilih belut daripada udang
nilai-nilai akan basah oleh perlawanan
dan mereka yang cari selamat di balik batu
akan terhimpit dan ditertawakan waktu

dengan mataku yang berapi
kupahat dasar sungai sampai luka terkatup
tapi
dari riak hatiku terciptalah laut

kesadaran datang begitu sebentar
menitipkan gelombang sesal
sampah-sampah terlanjur dibakar
tak sempat kumamah