Kali ini kumpulan puisi yang berjudul otobiografi ([sic] November 2007) dari penyair Saut Situmorang yang berisi puisi-puisi yang diramunya dalam kurun waktu 1987-2007, dengan tebal halaman 282 dan total jumlah puisi sebanyak 184 buah, saya jelajahi dalam penerawangan mata hati seorang awam.
Memasuki alam pikiran seorang Saut, bagi yang belum mengenal secara luas bagaimana dia memposisikan diri dalam kancah sastra kontemporer Indonesia, yang selalu berani dan konsisten di jalur perlawanan terhadap hegemoni kelompok tertentu yang selama ini berusaha untuk mendominasi sastra Indonesia, tentunya akan sangat berbeda penilaiannya dengan yang sudah mengenal tulisan-tulisan dan ucapan yang cukup membuat kuping pembaca atau mata lawannnya menadi meradang.
Saut dalam puisi-pusinya justru terkandung nilai-nilai manusiawi pada umumnya seorang bersikap. Kelembutan pada puisi, juga humor bernada getir dan kadang kenakalan dalam romantisme dan pemberontakan pada situasi sekelilingnya lebih dirasakan daripada seorang Saut yang penyerang dan bersuara keras.
Dalam pengantar buku tersebut yang dia tulis sendiri bahwa ciri para penyair di dunia puisi kontemporer Indonesia periode 1990an memilih kesederhanaan bahasa sehari-hari, kesederhanaan bahasa leksikal-gramatikal sehari-hari yang lugas tidak rumit, dengan tidak mengorbankan musikalitas dan visualitas bahasa, untuk mengungkapkan realitas puitis. Bahkan dia tambahkan juga sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah Politik. Hal ini berkaitan dengan dibaginya kumpulan dalam buku tersebut dalam 3 babak yaitu Cinta, Politik dan Rantau.
Dalam penjelajahan pertama yaitu CINTA dari 3 babak imajinasi seorang Saut, dengan diiringi petikan gitar Bahalawan menari, sajak dengan judul “tidurlah cicak”, “sajak cicak”, “boraspati”, “tenunlah bendera o laba laba” dan “cicak mabuk”, sudah membuat diriku seperti melihat seseorang membuat pot keramik. Dimulai dari sebongkah tanah liat yang kemudian ditaruhnya dalam lempengan kayu pada mesin pemutar membentuk pot keramik sesuai yang diinginkan. Berputarnya mesin dan bongkahan tanah liat yang semakin besar membentuk pot ini yang tergambar dalam imajinasi saya membaca puisi-puisi tersebut.
Betapa makna yang tersirat dari kata “cicak” akan terasa semakin dalam seperti kumparan yang berputar semakin cepat dan berakhir dengan klimaks setelah selesai membaca keempat syair tersebut.
Saya kutipkan pada sajak pertama di akhir bait tertulis
cicak cicak di dinding dinding
tidurlah
tidur
kemudian pada syair ke dua,
hormatilah cicak cicak di dinding rumahmu
yang ke tiga ,
kata kata terbakar lilinlah makananMu!
Yang ke empat ,
lalu berpawailah di sekeliling langit langit kamar!
Terakhir ,
cicak mabuk di dinding
bayangannya menari sempoyongan di lilin kamar
mengikuti gitar Lightning Hopkins
dan hei, bukankah itu Li Po yang baru datang!
Penggambaran seperti kehidupan ini, mengikuti siklus yang dipelajari dalam mata rantai makanan pelajaran biologi, yang kemudian dihubungkan dengan watak manusia lewat pengertian bahwa di atas langit masih ada langit begitu seterusnya, kegetiran dan kegembiraan datang silih berganti walau tidak seperti yang diharapkan bahkan kadang memabukkan sejenak, menjadi orang lain dalam diri sendiri.
Kelembutan penyair ini kutemukan dalam beberapa puisi bahkan kadang tergores muram dan getir. Pada puisi yang dia buat setelah kawannya dari Kanada meninggal dunia dengan bunuh diri menggantung di kamar mandi di Medan. Syair itu berjudul “untuk Bill Russon, Medan, Oktober 1988”. Suara Daniel Powter menyanyikan Bad Day lamat-lamat menemani saya menyelaminya,
kematian
seperti ular juga mengganti kulitnya
dia jadi malam di kotamu yang gelap
dengan rakus dia makan bulan & bintang bintang yang
menyerah tak berdaya
dia makan juga lampu lampu neon di hotel hotel
jalan-jalan utama kota & lilin lilin redup gubuk gubuk perbatasan
dia jadi burung malam yang menjerit jerit di langit di atas
rumahmu
jadi derak pintu & jendela yang tak terkunci rapat
Kelembutan dan kegetiran juga tergores dalam puisinya yang berjudul ”Natal 1989”. Saya katakan sejujurnya puisi ini sangat kuat menggambarkan kerinduhan seorang anak terhadap ibunya yang sudah lama meninggal, hati penyair ini akan sama dirasakan oleh jutaan anak-anak di dunia terhadap kehilangan ibu pusatnya gudang rasa kasih dan maaf yang tak tergantikan, walau kita ini sekeras batu hati ini terbuat, namun IBU tetap bisa meluluh lantakkan rasa itu. Itulah alasan saya mengapa kemudian judul puisi ini saya ambil menjadi judul esai dalam memandang kumpulan puisi Saut Situmorang ini. Kali ini Michael Buble menemani dengan Home-nya, suara jengkrik di pot bunga terdengar nyaring.
Natal 1989
hari ini
genap lima tahun
aku tak merayakan natal bersamamu
di sudut ruang tamu
yang biasanya berdiri pohon natal
sekarang cuma ada sarang laba laba
dan debu -
pohon natal itu juga pergi bersamamu
di gereja ada pohon natal besar
orang orang gembira dan lilin di tangan mereka terbakar
hari ini mereka merayakan pesta -
bagiku genap lima tahun kita berpisah
seorang ibu melemparkan kembang api ke langit
dan anaknya bersorak sorak mandi hujan cahaya
aku bersihkan sarang laba laba dan debu
dari sudut ruang tamu tempatmu dibaringkan lima tahun yang lalu
Membaca bait terakhir kepedihan itu terasa tergores dalam, saya membayangkan adakah setetes air mata di sudut mata penyair ini ketika menyudahinya? Adakah dia masih merindukan “mamak” pada setiap natal yang setia hadir? Saya rasa pasti itu, apalagi bila sejenak dalam diri ini merasakan tak punya siapa siapa, sendiri dalam hidup ini, lainnya dianggap debu. Sayup-sayup suara lonceng gereja menggema, dalam lamunan seperti ada gemerincing jejak Sinterklas menapaki awan .
Disamping itu masih ada tiga puisinya yang menggambarkan akan jalinan antara dia dan almarhum ibunya, dalam puisi yang berjudul “andung andung petualang”, saya kutip sebagian, karena puisi ini cukup panjang dalam 19 bait,
“kalau kau pergi , anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”
matahari panas
angin berhembus panas
bus tua meninggalkan kota
aspal jalanan melarikannya selamanya
“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”
kota berganti kampung
sawah berganti gunung
anak lelaki dekat jendela
lagu petualang jadi hidup di darahnya
“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”
kampung menjelma kota
gunung gunung kembali rumah rumah
begitulah berhari bermalam
makin jauh anak dalam perjalanan tenggelam
“kalau kau pergi, anakku
siapa lagi kan menghibur hati ibu?”
menyeberang laut menyeberang pulau
beribu gunung kota terlampaui
di negeri seberang di negeri baru
anak melangkah masuk hidup perantau
…………………………………………………………………
Keseluruhan 19 bait itu terangkai begitu indahnya, menceritakan awal dia berangkat merantau dengan dihantar hati ibu yang galau, gambaran yang terasa pilu memendam rindu dendam pada keadaan yang memisahkan penyair dan ibunya sampai kematian kemudian tiba.
Ada catatan kaki di bawah sajak ini, memberikan sekilas gambaran tentang ”andung-andung” yang merupakan nyanyian ratapan kematian di kalangan orang Batak Toba, isinya berupa kisah hidup yang meninggal dan dinyanyikan dalam bentuk performance tunggal di hadapan jasadnya. Ternyata penyair Batak ini tetap tidak meninggalkan aroma tradisinya dalam penciptaan syair-syairnya. Bagi saya ini suatu kelangkaan, banyak penyair kontemporer Indonesia masa kini, kadang terlarut dalam hiruk pikuk kata, jarang mengangkat tema tradisi mereka sendiri dalam memperkaya khasanah penciptaan puisinya, sehingga akan melestarikan tradisi itu sendiri, namun juga akan menambah wawasan pembacanya akan berbagai ragam tradisi yang melatar-belakangi kehidupan penyair itu sendiri. Imajinasi luas tak terbatas, begitu juga ada sejuta kata yang tak sama dapat diambil dari sekeliling kita sehari hari, seharusnya tak ada kata-kata yang itu itu saja muncul di syair-syair penyair sekarang ini juga temanya, karena tradisi memperkaya tema dan kata.
Pada puisi yang berjudul “ibu seorang penyair”, menggambarkan awal ibu melahirkan sampai kemudian meninggal dunia ditorehkan dengan kesederhanaaan kata, namun tutur bahasa pengulangan yang begitu pilu, menambah goresan kelembutan hati penyair ini terpampang jelas.
ibu yang menangis
menunggu kelahirannya
ibu yang menangis
kesakitan melahirkannya
……………………………………..
ibu yang menangis itu
tak menangis lagi
airmatanya sudah habis
sekarang Dia tidur
di antara rumputan di antara bintang bintang
di langit
Kemudian klimaksnya adalah puisi yang berjudul “hanya airmata dan terik matahari yang mengerti”
rumput rumput sudah mulai panjang
dan seperti rambut kusut
merambati permukaan gundukan tanah
yang tak lagi berwarna merah
waktu aku datang mengunjungimu
pertemuan kita ini
punya arti
hanya airmata dan terik matahari
yang mengerti
…………………………………………………………
ada yang bilang tak boleh noleh ke belakang’kalau kaki sudah beranjak mau pulang
tapi dari jauh
kulihat salib kayumu
tegak penuh
seperti dirimu waktu melepasku
di pelabuhan dulu
Dalam sisi yang lain kematian binatang peliaraannya berupa kucing, mampu juga membuat penyair ini menggoreskan kata-kata mengenangnya dalam rangkaian yang indah dan menyentuh. Dalam smsnya pada saya beberapa waktu lalu, dia ceritakan bahwa kucing itu dibawa dari Medan kemudian sempat ke Eropa mengalami masa karantina 3 bulan sampai kemudian selamat di Selandia Baru. Eh, sampai di sana mati dipukul orang. Saya sempat mengira ini seekor anjing, maklum di otakku tercemar Batak kan suka anjing, tak tahu kalau ini kucing.
Lentingan suara Mariah Carey mendendangkan We belong together berbarengan dengan suara kucing tetangga mengeong sejenak, seakan kucing itu menerima tanda saya sedang membaca sajak tentang kematian kucing.
elegi claudie
di atas tanah
lembab
terlindung
beberapa rumput berduri
dia terbaring
bulu badannya
yang putih
dan pirang
tegak memanjang
dari leher
ke ujung punggungnya
kedua kaki depannya
agak terdorong ke muka
dan kaki belakangnya
keduanya tertekuk
seolah dia sedang mengamati sesuatu
kedua matanya
terbuka
terbelahak
dan mulutnya menganga
waktu kuangkat
ke pangkuanku
badannya
sudah dingin
sorenya
dokter bilang
nadi ke hatinya
pecah-
seseorang pasti memukulnya
besoknya aku
kubur dia
di atas bukit (di belakang rumah)
yang memandang ke lembah
wellington, juni 1990
Tipologi penulisan yang terpotong potong ke bawah menggambarkan betapa hati penyair ini membuat susunan kata-kata dengan terbata-bata seperti seorang anak kecil yang menangis dalam sedu sedannya bercerita ketika menjumpai hewan peliharaan mati dengan sangat mengenaskan, hancur hati, dia membuat begitu jelas intonasi kata pada baris tersendiri untuk “dia terbaring”, kemudian “seolah dia sedang mengamati sesuatu” dan terakhir penyebab kematian “pecah”. Penyair ini telah memberikan “tanda” intonasi kata apabila ada pembaca yang akan membacakan puisinya, sehingga puisi ini akan semakin hidup. Kadang pembaca sering menemukan kesulitan dalam membacakan puisi penyair. Apabila tidak terbiasa baca puisi, apalagi bagi seorang awam. Namun dalam puisi di atas ini, Saut juga memberikan semacam kemudahan dalam membaca karyanya terutama bagi orang awam untuk suatu ketika dibaca di depan publik.
Dalam babak Cinta ini, saya justru menemukan penggambaran romantisme masa pacaran penyair ini yang dibuat dalam bentuk puisi kurang begitu dalam dan kesannya kering di permukaan dan saya rasakan agak kasar, entahlah apa karena ada penggambaran hubungan yang terlalu gamblang dalam kata-kata atau mungkin saya sendiri sudah terhanyut berkubang sebelumnya dengan sajak-sajak dia dalam hubungan dengan kemanusiaan juga tentang kehidupan yang justru digambarkan dengan kelembutan hati penyair yang selalu ada dalam gambaran saya selama ini.
Ada banyak sajak yang dalam, sebagai contoh ”karena laut sungai lupa jalan pulang”, soal Gempa Yogja, “Santiago”, “penyair dan danau”, ”marilah kita mabuk”, “bocah pemancing ikan” dan sajak dia yang terkenal “saut kecil bicara dengan tuhan”.
Bahkan dalam kejadian gempa Yogja, dia masih sempat bermain nakal dalam imajinasi dengan puisi yang berjudul “aku ingin” kukutip sebagian , dengan lirih suara dentingan piano Christian Bautista dalam the way you look at me mengalun sendu ,
aku ingin bercinta denganmu
waktu gempa lewat
di kota kita
saat itu
pasti tak ada
keluh cemas , sinar mata ketakutan
atau gemetar kakimu
yang membuatku termangu
…………………………………………..
Ada beberapa puisinya yang menceritakan gempa ini, dan semuanya dia buat dengan pendalaman makna walau tersusun dari kata-kata yang sederhana. Bagi orang awam yang membacanya dapat ikut serta merasakan goncangan gempa itu dan sayatan pilu bagi korbannya. Bahkan saya sempat terjatuh dari kursi ternyata mor-bautnya copot.
Dalam imajinasi kemudian dituangkan melalui bait bait puisinya, saya menemukan beberapa puisi dengan gaya bagaikan kumparan membentuk sebuah gelas kaca, berputar-putar menggelembung. Beberapa puisinya seperti ini dalam gambaran saya ketika membacanya: ”insomania”,”sajak mabuk”, ”sajak musim salju”.
Saya kutipkan sajak “insomania”
hampir.tengah.malam.jalan.
jalan.kota.sudah.sepi.mobil
kadang.lewat.lewat.mengiris.dingin.malam.
di.kamar.sendiri.aku.mendengar.
……………………………………………
Perhatikan penulisan setiap kata yang diakhiri tanda titik, menggambarkan bagaimana kesulitan kita untuk tidur. Bagi penderita insomania akut, penggambaran kesulitan memejamkan mata terasa dalam kata-kata yang dia tulis dengan akhiran titik. Saya melihat seperti kelopak mata ini sejenak terpejam, sejenak lagi terbuka terus menerus seperti itulah kiranya tafsir saya terhadap apa yang ditulis penyair ini dengan setiap kata langsung diakhiri titik. Padahal kalau dibaca dengan membuang tanda baca “titik” tadi akan tersususn baris-baris kata puisi biasa pada umumnya, namun di sini penyair tidak hanya menyampaikan isi puisi itu namun dia juga menggambarkan penyampaian itu seperti pembaca ini mengalami juga penyakit “insomania” dengan kejelasan titik-titik dalam setiap kata yang tersusun itu. Luar biasa!
Di sini kemudian saya menemukan sisi lain dari Saut penyair garis keras ini (sebagian teman sastrawan menilai dia begitu), rocker garis cadas atau metal kali ya kalau pada aliran musik. Namun saya tak setuju seratus persen terhadap penilaian ini. Justru dalam syair syairnya itu banyak saya temui kelembutan seorang penyair yang sebenarnya, juga rasa tanggung jawab dia terhadap pembelajaran bagi pembacanya bagaimana dia menuntun pembaca untuk dapat menangkap apa yang ingin dia sampaikan, apa yang ingin dia ceritakan dengan segudang petualangannya selama ini mencari kehidupan dan membentuk kehidupan dia selanjutnya. Kata baginya tidak hanya sekedar rangkaian memilah milah, menggabung gabung, tapi bagaimana kata disusun dalam kontek tradisi juga pembacaan yang diatur dengan memberikan semacam tanda bagi pembaca yang mendalami puisi puisinya. Hal ini sangat jarang saya temui pada puisi-puisi penyair lain.
Saut yang gegap gempita dalam konsistensi pendapat dan pemikiran juga tercermin dalam babak ke dua yang berjudul POLITIK.
Sajak sajaknya pada babak ini luar biasa, penuh tenaga dan dorongan, kuat dalam penyampai ide dan kesederhanaan kata itu berhasil membuat beberapa teman kecil saya di SMA bisa memahami mengapa seorang penyair juga harus peka terhadap kejadian yang ada di lingkungan sekitarnya, tidak hanya situasi kemanusiaan, namun juga merembet pada keadaaan Negara, perjuangan kantong-kantong perlawanan yang ada di masyarakat pada umumnya.
”Sajak mimpi untuk Widji Thukul”, ”marsinah”, ”dari berita di sebuah majalah”. Puisi terakhir ini sempat membuat mata hati saya meradang merah dan menggigil.
Saya kutipkan sebagian dengan ditemani lolongan Celien Dion dalam the power of love,
bocah perempuan itu pecah jantungnya
waktu dituduh mencuri perhiasan tetangga
airmatanya cuma minyak
memarakkan api di dada sang angkara murka
lalu seorang polisi membawa bocak kecil itu
ke kantornya. lalu polisi itu menendang
badan kecilnya ke dalam sel yang terlalu
besar buat rasa takut di matanya
dia tak pernah mencuri perhiasan siapa
siapa jawabnya waktu sebuah kepalan
tangan raksasa menghancurkan semua
keriangan kanak kanaknya
selamanya
lalu perempuan kecil itu direndam
bagai selembar sarung kotor di bak mandi
kantor polisi
lalu perempuan kecil itu dinikmati
jerit kesakitannya oleh dua polisi
yang duduk merokok di kursi yang memaku kuku kakinya
ke semen lantai!
Puisi ini cukup panjang, dan membuat saya tak mampu membaca habis, karena tanpa sadar airmata mengaburkan kata-kata itu dan lamat-lamat seperti terdengar suara penyiar dalam acara buser atau jejak pembunuh entah apalagi di televisi dalam acara yang biasanya mengulas pembunuhan yang sudah dikemas menjadi barang tontonan menarik dan acara ini telah menjadi semacam ”guide” bagi lahirnya pembunuh pembunuh selanjutnya di masyarakat. Ya, acara televisi yang paling saya benci dan kurcaci saya larang untuk menontonnya, takut dia akan menjadi pembunuh dalam dunia lain.
Kebobrokan moral, ketidak adilan dan tingkah laku masyarakat di sekeliling ini, memang tak luput dari goresan imajinasinya yang pilu dan dalam. ”sajak orang orang buangan”, ”surat bawah tanah”, ”catatan subversif tahun 1998”, juga puisinya tentang kejadian Mei 1998, ”aku adalah mayat” dan masih banyak lagi, yang begitu kuat menggambarkan situasi peristiwa yang berhubungan dengannya.
Ada satu puisi dalam babak ini yang begitu menyentuh judulnya “inilah aku”
inilah wajahku
yang kau siarkan di media massamu
tak perlu lagi kau memburuku
inilah tanganku
yang kau tuduh menulis hasutan hasutan itu
tak perlu lagi kau memburuku
inilah kakiku
yang kau katakan lari dari tanggungjawabku
tak perlu lagi kau memburuku
dan inilah dadaku
yang kau fitnah penuh benci pada negeriku sendiri
tembaklah dengan senapanmu
kalau kau berani melawan nuranimu!
Pada babak terakhir buku kumpulan ini RANTAU lebih banyak memuat puisi puisinya dalam bahasa Inggris, yang memperjelas kalau penyair ini merantaunya di negeri sono. Ada beberapa yang merupakan terjemahan puisi dia dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris seperti “1966”, “totem”, “subversive notes 1998”, “a letter from the underground”, “imagine we were in Dili”. Judul yang terakhir ini, sebelumnya dalam bahasa Indonesia terdapat dalam babak POLITIK ini cukup menggelikan setelah membacanya. Saya kutipkan dengan keriangan Michael Learns dalam the actor dari jauh mengalun lembut,
seandainya kita di Dili imagine we were in Dili
“jangan tembak, pak! “don’t shoot, sir!
jangan tembak! please don’t shoot I’m an Indonesian!
saya ini orang Indonesia! look! here’s my ID card.
lihat KTP saya KTP Jakarta!!!” it was issued in Jakarta!!!”
“wah, tenane, lho sialan! “It’s true, shit!
ya sudah. Hayo sembunyi! okay, go and hide sana di Koramil. ourheadquarters. Hurry up!
kok wong Indonesia ada di jalan, hat the hell is an Indonesian doing out in the street,
pengen mati, ya! diancuk!!!” do you want to get shot dead, eh? hurry up!
bastard!”
15 september 1999
Saya baru tahu kalau pisuh pisuhan bahasa Suroboyoan itu dalam bahasa Inggris jadi “bastard”, tapi kayaknya lebih enak dalam bahasa aslinya deh! terasa nendang diintonasinya. Dan saya bisa lebih leluasa misuhi wong bule dengan aslinya, kalau diterjemahkan kurang makyus. Dan Saut dalam puisi tersebut berupaya melucu namun getir. Bahasa sulitnya parody satire, dalam perang yang kejam selalu ada kelucuan terselip.
Buku tebal bergambar narsis habis penyairnya ini diambil kala dia masih imut dan menggemaskan, apakah sudah gede begini masih menggemaskan? Tentunya hanya untuk seorang Katrin Bandel hal ini masih menggemaskan dan bagi lawannya yang suka dikritik, Saut pun masih menggemaskan (barangkali?), rasanya tak habis habis untuk digali dan diselami. Bagi saya yang belum bertatap muka dengannya, walau sudah sering kontak by sms dan membaca beberapa esainya yang ditulis cukup serius, setidaknya cukup memberikan gambaran seorang Saut Situmorang yang sebenarnya mempunyai sisi bertolak belakang dengan gaya lantang bicaranya apalagi bila dia menemukan ketidak adilan dalam perjalanan sastra Indonesia saat ini.
Di akhir buku ini ditutup dengan tiga puisinya yang berjudul “Blues for Allah 1” , “Blues for Allah 2”, dan “Blues for Allah 3”, puisi puisi ini sangat pendek, orang bilang walau dia pendek tapi padat berisi dan telak. Bahkan untuk puisi “Blues for Allah 3” tidak ada isinya, kosong melompong, dibiarkan pembacanya untuk bebas mau menulis apa.
Iringan lembut Whitney Houston dalam I will always love you mengantarku menyelami dua puisi terakhir ini.
Blues for Allah 1
the sky’s so blue the kids’re playing
then the sea rose and ate up everything -
tsunami
Blues for Allah 2
the lonely moon and
the silent night are what the
tsunami left behind
Blues for Allah 3
Penilaian saya akan puisi-puisi Saut yang mudah untuk dicerna pembaca awam ini, tidak terikat dengan metafora yang jelimet, namun centang perentang dalam penyampaian gagasan juga penilaian dan perlawanan terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya, membuat saya pribadi tak lelah menikmati puisi-puisinya. Walau ada beberapa puisi panjang dalam bait dan barisan kalimat, tetapi tidak memanjang satu kalimat oleh puluhan kata ini, sehingga bagi saya yang penggemar berat puisi yang tidak bertele-tele, terasa nyaman di mata dan di hati.
Puisi-puisinya mewakili karakter dia sebenarnya, di satu sisi lembut, lucu dan romantis kering, di sisi lain garang perlawanan dan lantang tergores. Jadi ingat cerita Vendetta dengan lambang “V”nya yang terkenal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar