Orang-orang kuno berbicara tentang penyaliban dengan penuh kengerian. Sejarah yang ditulis oleh Cicero mengungkapkan perasaan jijik orang terhadap kematian di atas salib. Hukuman tersebut merupakan "hukuman paling puncak dan paling ekstrim terhadap budak" (Servitutis ekstrem summumque supplicium, dari buku Against Verres 2.5.169), "hukuman yang paling kejam dan yang paling menjijikkan" (crudelissimum taeterrimumque supplicium, ibid. 2.5. 165.).
Yosefus menyebutnya "kematian yang paling malang". (Perang Yahudi 7:203.)
Tuhan Yesus tinggal di wilayah Romawi yang akrab dengan penyaliban. Hukuman ekstrim ini adalah metode penaklukan Roma, seperti kisah Yosefus tentang wilayah Palestina yang bergejolak berulang kali menunjukkannya. Ketika pemberontakan muncul di Yerusalem setelah kematian Herod Agung, gubernur Suriah menyiapkan pasukannya berbaris melalui Galilea ke Yerusalem dan memerintahkan 2.000 pemberontak untuk disalib. (Antiquities 17:295.)
Ketika ancaman Perang Yahudi muncul pada tahun 66, prokurator Florus Gessius membalas dengan membantai dengan sembarangan di jalan-jalan Yerusalem, menangkap banyak warga negara Romawi, dan memerintahkan mereka harus "dicambuk terlebih dahulu kemudian disalibkan." (Perang Yahudi 2:306) Puncak perang tersebut adalah pengepungan tahun 70 M, ketika Yerusalem sedang terisolasi oleh Titus, jenderal Romawi yang terkenal yang kemudian menjadi kaisar Romawi berikutnya. Kelaparan memaksa orang-orang miskin untuk mencuri keluar dari benteng mereka untuk mencari makanan. Dengan gaya teror khas Romawi, ratusan orang-orang miskin ini dibuat menjadi contoh sehari-hari dengan disiksa dan kemudian disalibkan dengan terlihat jelas dari tembok kota. (Perang Yahudi 5:449.)
Ketika Palestina menjadi wilayah Romawi salib diperkenalkan sebagai bentuk hukuman, khususnya bagi mereka yang tidak dapat membuktikan kewarganegaraan Romawi mereka; di kemudian hari hukuman tersebut hanya diperuntukkan bagi pencuri dan pembuat keonaran.
Hukuman salib dijatuhkan juga secara teratur untuk kejahatan seperti perampokan dan pembajakan. Menurut adat Romawi, penyaliban selalu didahului oleh penderaan [pencambukan]; setelah hukuman pendahuluan tersebut, si terhukum harus membawa kayu salib, atau setidaknya bagian balok yang melintang, ke tempat eksekusi, dihadapkan pada ejekan dan hinaan rakyat. Setibanya di tempat pelaksanaan hukuman mati, si terpidana dipakukan di salib lalu diangkat. Tak lama kemudian, si terhukum, sepenuhnya telanjang, terikat di atas dengan tali. Ia kemudian direkatkank dengan paku ke kayu salib. Akhirnya, sebuah plakat disebut "titulus" bertuliskan nama si terhukum dan kalimatnya, ditempatkan di bagian atas salib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar